Selasa, 16 April 2013

TANPA AKHIR

BAB I


Aku pernah merasakan semuanya berbeda. Saat ini semuanya memang berbeda. Saat itu aku berumur 2 tahun aku pernah diberi kasih sayang yang indah dari kedua orang tuaku walaupun aku tidak pernah mengingat wajah mereka saat itu. Yang ku tahu mereka pasti sangat baik dan jujur, itu memang harapanku. Tapi semuanya hilang ketika aku merayakan ulang tahunku yang ketiga. Diatas pangkuan eyang ku, aku menanti kedatangan orangtuaku yang mungkin akan membawaku hadiah. Tapi mereka tak pernah datang hingga hari ini eyang masih duduk dikursi ini menanti mereka dan selalu menagis disetiap ulang tahun ku.
Hari ulang tahunku adalah kesedihannya, walaupun aku tidak pernah melupakan kalau ia lah sumber seluruh kasih sayang yang aku dapatkan sekarang. Dan aku selalu berharap kasih sayang itu tetap tinggal disisi ku selamanya.
Saat itu aku pulang kerumah dan mendapatinya duduk menatapku penuh cinta. Seperti biasa ia memang selalu mencintaiku sebagai bocah kesayangannya yang selalu harus didampinginya. Dan aku bahagia karena ini adalah kegembiraan teresar dalam hidupku melihat ia tersenyum setiap hari padaku dan mengatakan ‘ksatria kesayangan ku’.
“Eyang hari ini aku berhasil mengalahkan temanku dalam latihan mencongak,” kataku manja sambil menunjukan nilaiku padanya. Dan sekali lagi ia tersenyum bangga pada ku.
“Eyang bangga padamu”
“Apakah ayah dan ibu juga bangga padaku. Seperti eyang?” Tanyaku lugu.
“Tentu saja mereka selalu bangga padamu. Kau putra mereka satu-satunya yang terlahir karena ketulusan cinta mereka, dan kelembutan pangkuan ibumu. Kau seharusnya tumbuh dengan cinta mereka. Tapi eyang berjanji kau akan merasakan cinta mereka dari eyang,” katanya padaku. Dan aku tersenyum gembira, tahu kalau aku memang selalu dicintainya.
“Terimakasih eyang, eyang adalah orang yang terbaik untuk aku. Aku berjanji akan selalu membuat eyang tersenyum seperti itu.” Kata ku tersenyum dan mengecup pipinya karena aku memang sangat mencintainya.
****
Aku tersadar dari mimpiku, dan merasakan tubuhku yang lemas dan kepalaku terasa sakit. Kubuka mataku sebentar melihat seorang wanita paruh baya tiba-tiba menjerit bahagia mengtakan kalau aku tersadar. Bau obat di dalam rumah sakit tercium di hidungku. Dan aku mencoba mnegenal wanita itu, tapi ia benar-benar baru ku lihat. Aku tersadar kalu aku tak ingat apapunsekarang.
Siapa aku? Tanyaku panik pada diriku sendiri. Dan sedang apa aku disini, kenapa aku disini, siapa mereka, dan kenapa seluruh tubuhku terasa lemas. Mengapa aku disini? Tapi seluruh pertanyaan itu kembali membuat kepalaku terasa sangat sakit tak tertahankan.
Sesaat kemudian derap langkah panik terdengar diluar ruangan. Mereka langsung menuju berusaha menenangkan aku yang mulai gelisah dan sakit. Sesaat semua terasa kabur dan aku kembali terlelap. Dan saat aku tersadar aku harus menerima kenyataan kalau aku memang tidak bisa lagi mengingat apapun.
Mataku membuka perlahan saat melihat seorang wanita paruh baya yang merawat aku sebelumnya. Ia meletakan beberapa buah jeruk disamping tempat tidur pesakitan ini.
“Siapa kau?” Tanya ku sambil memandang wanita yang walau telah terlihat garis penuaan diwajahnya namun masih terlihat sangat cantik.
“Oh kau sudah sadar. Syukurlah sedikit lagi, dokter akan tiba. Sebaiknya kau istirahat saja tidak perlu terlalu dipikirkan,” katanya tak menjawab pertanyaanku. Tapi aku tidak ingin menjadi pasien yang keras kepala. Aku terdiam, memandang senyuman yang indah diwajah wanita itu. Terasa menenangkan.
“oh rupanya kau sudah sadar, nak! Kata dokter yang telah menua itu. “warga menemukanmu terdampar di laut sebulan yang lalu. Dan kau tidak sadarkan diri. Semula kami merasa pesimis, tapi rupanya semangat anda untuk tetap hidup cukup tinggi walaupun dengan alat-alat yang cukup sederhana ini.”
“Dimana aku?” tanya ku bingung.
“Anda sekarang di Tasik, desa nelayan. Boleh kami tahu nama anda?” Tanya dokter itu tenang.
“Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa!” Kataku merasa gelisah. Kulihat wajah cemas pada wanita itu.
“Tenanglah, bagaimana kalau namamu badai saja. Karena kau ditemukan pada saat badai hebat bulan lalu’ kata wanita itu lembut.
“Sebaiknya kau isirahat saja, tidak terlalu dipikirkan lagi.” Kata dokter lalu pergi mengajak sang wanita keluar.
“Tunggu! Terima kasih sebelumnya, kau sudah menyelamatkan aku. “ kataku mencoba tersenyum walau terasa seluruh ototku begitu tegang. Dan aku berusaha tenang menutup mata dan kembali tertidur. Berharap saat bangun aku bisa mengingat semuanya.

Udara segar pantai memang menyenangkan. Entah mengapa aku mulai merasa betah dan nyaman meski aku sama sekali tak mengingat apapun. Pasir putih yang terhampar jauh menyenangkan dipandang dan terasa damai.
“Aku bertanya pada suster didalam dan katanya kau disini jadi aku menyusul.” Kata suara lembut dari belakangku. Kuberbalik dan memandang gadis ayu putri  kepala desa ini. Ia lugu dan cantik seperti ibunya.
“Terasa menyenangkan rumi disini. Aku bosan didalam” kataku menatap jauh ketengah laut.
“Badai. Aku tidak menyangka kau akan betah disini. Ibu tidak bisa kemari menjagamu, jadi ia meminta aku. Ayah juga ingin kau bisa beristirahat lebih dan kata dokter kau sudah bisa keluar besok” katanya. Aku menatapnya bingung. Aku tidak tahu mau kemana jika keluar nanti. Aku tidak mengenal siapa-siapa bahkan diriku sendiri. “Jangan berpikir yang tidak-tidak. Ibu sudah menyiapkan kamar untukmu, dan ayah bersemangat sekali hingga mengatakan kebeberapa warga kalau kau akan tinggal bersama kami.”
“Trima kasih kenapa kalian begitu baik pada ku. Aku tidak tahu harus membalas dengan apa.?” Kataku padanya.
“Kau seperti malaikat yang dikirim dari surga untuk kami.” Kata rumi padaku penuh rasa sayang.
Aku menatapnya, dan aku sadar kalau tatapan mata rumi bagikan  malaikat yang teduh. Dan aku tak bisa berhenti untuk menatapnya. Gadis ini seperti dewi bagiku, dan ia terlalu cantik untuk dilihat.
Hari-hari proses pemulihanku dirumah keluarga ini terasa menyenangkan. Mereka memperlakukan aku denngan penuh cinta. “Siapa pria didalam foto ini rumi?,” tanyaku pada rumi memandang bingkai foto diruangan rumah yang cukup luas. “dia kakak ku, ia meninggal saat berumur 17 tahun. Dan saat itu aku berumur 15 tahun disampingnya. Foto ini dibuat saat kenaikan kelasnya dan aku masuk SMA 4 tahun lalu.” Katanya memandang foto itu penuh cinta.
“Kau tentu sangat sayang padanya,” kataku merasa bersalah menanyakanya. Dan ia menganggukan kepala.
“Yang paling kehilangan adalah ayah. Tapi pada saat itu yang kehilangan anak lelaki sulung bukan hanya ayah. Bahkan hingga sekarang, mereka selalu hilang dilaut dan tak ditemukan lagi” kata rumi.
“Jadi kalian memang tak pernah tahu keberadaan merek,” Tanyaku memandang gadis itu yang terlihat sangat cantik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar