Aku pernah
merasakan semuanya berbeda. Saat ini semuanya memang berbeda. Saat itu aku
berumur 2 tahun aku pernah diberi kasih sayang yang indah dari kedua orang
tuaku walaupun aku tidak pernah mengingat wajah mereka saat itu. Yang ku tahu
mereka pasti sangat baik dan jujur, itu memang harapanku. Tapi semuanya hilang
ketika aku merayakan ulang tahunku yang ketiga. Diatas pangkuan eyang ku, aku
menanti kedatangan orangtuaku yang mungkin akan membawaku hadiah. Tapi mereka
tak pernah datang hingga hari
ini eyang masih duduk dikursi ini menanti mereka dan selalu menagis disetiap
ulang tahun ku.
Hari ulang
tahunku adalah kesedihannya, walaupun aku tidak pernah melupakan kalau ia lah
sumber seluruh kasih sayang yang aku dapatkan sekarang. Dan aku selalu berharap
kasih sayang itu tetap tinggal disisi ku selamanya.
Saat itu aku
pulang kerumah dan mendapatinya duduk menatapku penuh cinta. Seperti biasa ia
memang selalu mencintaiku sebagai bocah kesayangannya yang selalu harus
didampinginya. Dan aku bahagia karena ini adalah kegembiraan teresar dalam
hidupku melihat ia tersenyum setiap hari padaku dan mengatakan ‘ksatria
kesayangan ku’.
“Eyang hari ini
aku berhasil mengalahkan temanku dalam latihan mencongak,” kataku manja sambil
menunjukan nilaiku padanya. Dan sekali lagi ia tersenyum bangga pada ku.
“Eyang bangga padamu”
“Apakah ayah dan
ibu juga bangga padaku. Seperti eyang?” Tanyaku lugu.
“Tentu saja
mereka selalu bangga padamu. Kau putra mereka satu-satunya yang terlahir karena
ketulusan cinta mereka, dan kelembutan pangkuan ibumu. Kau seharusnya tumbuh
dengan cinta mereka. Tapi eyang berjanji kau akan merasakan cinta mereka dari
eyang,” katanya padaku. Dan aku tersenyum gembira, tahu kalau aku memang selalu
dicintainya.
“Terimakasih
eyang, eyang adalah orang yang terbaik untuk aku. Aku berjanji akan selalu
membuat eyang tersenyum seperti itu.” Kata ku tersenyum dan mengecup pipinya
karena aku memang sangat mencintainya.
****
Aku tersadar
dari mimpiku, dan merasakan tubuhku yang lemas dan kepalaku terasa sakit.
Kubuka mataku sebentar melihat seorang wanita paruh baya tiba-tiba menjerit
bahagia mengtakan kalau aku tersadar. Bau obat di dalam rumah sakit tercium di
hidungku. Dan aku mencoba mnegenal wanita itu, tapi ia benar-benar baru ku
lihat. Aku tersadar kalu aku tak ingat apapunsekarang.
Siapa aku?
Tanyaku panik pada diriku sendiri. Dan sedang apa aku disini, kenapa aku
disini, siapa mereka, dan kenapa seluruh tubuhku terasa lemas. Mengapa aku
disini? Tapi seluruh pertanyaan itu kembali membuat kepalaku terasa sangat
sakit tak tertahankan.
Sesaat kemudian derap
langkah panik terdengar diluar ruangan. Mereka langsung menuju berusaha
menenangkan aku yang mulai gelisah dan sakit. Sesaat semua terasa kabur dan aku
kembali terlelap. Dan saat aku tersadar aku harus menerima kenyataan kalau aku
memang tidak bisa lagi mengingat apapun.
Mataku membuka
perlahan saat melihat seorang wanita paruh baya yang merawat aku sebelumnya. Ia
meletakan beberapa buah jeruk disamping tempat tidur pesakitan ini.
“Siapa kau?”
Tanya ku sambil memandang wanita yang walau telah terlihat garis penuaan
diwajahnya namun masih terlihat sangat cantik.
“Oh kau sudah
sadar. Syukurlah sedikit lagi, dokter akan tiba. Sebaiknya kau istirahat saja
tidak perlu terlalu dipikirkan,” katanya tak menjawab pertanyaanku. Tapi aku
tidak ingin menjadi pasien yang keras kepala. Aku terdiam, memandang senyuman
yang indah diwajah wanita itu. Terasa menenangkan.
“oh rupanya kau
sudah sadar, nak! Kata dokter yang telah menua itu. “warga menemukanmu
terdampar di laut sebulan yang lalu. Dan kau tidak sadarkan diri. Semula kami
merasa pesimis, tapi rupanya semangat anda untuk tetap hidup cukup tinggi
walaupun dengan alat-alat yang cukup sederhana ini.”
“Dimana aku?” tanya
ku bingung.
“Anda sekarang
di Tasik, desa nelayan. Boleh kami tahu nama anda?” Tanya dokter itu tenang.
“Aku tidak tahu.
Aku tidak ingat apa-apa!” Kataku merasa gelisah. Kulihat wajah cemas pada
wanita itu.
“Tenanglah,
bagaimana kalau namamu badai saja. Karena kau ditemukan pada saat badai hebat bulan
lalu’ kata wanita itu lembut.
“Sebaiknya kau
isirahat saja, tidak terlalu dipikirkan lagi.” Kata dokter lalu pergi mengajak
sang wanita keluar.
“Tunggu! Terima
kasih sebelumnya, kau sudah menyelamatkan aku. “ kataku mencoba tersenyum walau
terasa seluruh ototku begitu tegang. Dan aku berusaha tenang menutup mata dan
kembali tertidur. Berharap saat bangun aku bisa mengingat semuanya.
Udara segar
pantai memang menyenangkan. Entah mengapa aku mulai merasa betah dan nyaman
meski aku sama sekali tak mengingat apapun. Pasir putih yang terhampar jauh menyenangkan
dipandang dan terasa damai.
“Aku bertanya
pada suster didalam dan katanya kau disini jadi aku menyusul.” Kata suara
lembut dari belakangku. Kuberbalik dan memandang gadis ayu putri kepala desa ini. Ia lugu dan cantik seperti
ibunya.
“Terasa menyenangkan
rumi disini. Aku bosan didalam” kataku menatap jauh ketengah laut.
“Badai. Aku
tidak menyangka kau akan betah disini. Ibu tidak bisa kemari menjagamu, jadi ia
meminta aku. Ayah juga ingin kau bisa beristirahat lebih dan kata dokter kau
sudah bisa keluar besok” katanya. Aku menatapnya bingung. Aku tidak tahu mau
kemana jika keluar nanti. Aku tidak mengenal siapa-siapa bahkan diriku sendiri.
“Jangan berpikir yang tidak-tidak. Ibu sudah menyiapkan kamar untukmu, dan ayah
bersemangat sekali hingga mengatakan kebeberapa warga kalau kau akan tinggal
bersama kami.”
“Trima kasih
kenapa kalian begitu baik pada ku. Aku tidak tahu harus membalas dengan apa.?”
Kataku padanya.
“Kau seperti
malaikat yang dikirim dari surga untuk kami.” Kata rumi padaku penuh rasa sayang.
Aku menatapnya,
dan aku sadar kalau tatapan mata rumi bagikan
malaikat yang teduh. Dan aku tak bisa berhenti untuk menatapnya. Gadis
ini seperti dewi bagiku, dan ia terlalu cantik untuk dilihat.
Hari-hari proses
pemulihanku dirumah keluarga ini terasa menyenangkan. Mereka memperlakukan aku
denngan penuh cinta. “Siapa pria didalam foto ini rumi?,” tanyaku pada rumi
memandang bingkai foto diruangan rumah yang cukup luas. “dia kakak ku, ia
meninggal saat berumur 17 tahun. Dan saat itu aku berumur 15 tahun
disampingnya. Foto ini dibuat saat kenaikan kelasnya dan aku masuk SMA 4 tahun
lalu.” Katanya memandang foto itu penuh cinta.
“Kau tentu
sangat sayang padanya,” kataku merasa bersalah menanyakanya. Dan ia menganggukan
kepala.
“Yang paling
kehilangan adalah ayah. Tapi pada saat itu yang kehilangan anak lelaki sulung
bukan hanya ayah. Bahkan hingga sekarang, mereka selalu hilang dilaut dan tak
ditemukan lagi” kata rumi.
“Jadi kalian memang tak pernah tahu keberadaan merek,” Tanyaku memandang
gadis itu yang terlihat sangat cantik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar